Selasa, 17 April 2018

Perkembangan Kemandirian



PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN
1. Pentingnya Kemandirian Bagi Peserta Didik
Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah tampak pada berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini, antara lain: perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal.
Dalam konteks proses belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi, kebiasaaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan lama dalam belajar dan baru belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari kebocoran soal ujian.Problem remaja diatas yang merupakan perilaku-perilaku reaktif semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang diprakirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan.
Tantangan kompleksitas masa depan itu memberikan dua alternatif: pasrah kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi masa depan tentunya menjatuhkan pilihannya pada alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapakan remaja bagi peranannya di masa depan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas dan memiliki kemandirian yang tinggi.
Ikhtiar pendidikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengembangkan kemandirian menjadi sangat penting , karena selain problema remaja dalam bentuk perilaku negatif sebagaimana dipaparkan di atas ada juga sejumlah gejala negatif yang tampak menjauhkan individu dari kemandirian. Gejala-gejala tersebut dapat dipaparkan berikut ini:

1.   Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku formalistik dan ritulistik serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumberdaya dan kemandirian manusia.

2.   Sikap tidak peduli terhadap lingkungan. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertransenden terhadap lingkungannnya. Ketidak-pedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.

3.  Sikap hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya bisa di atur, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk adanya ketidak-jujuran berpikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.

Gejala-gejala di atas merupakan sebagian dari kendala utama dalam mempersiapakan individu-individu yang mampu mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan kepribadian remaja menuju kearah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diikhtiarkan secara serius, sistematis, dan terprogram.

2.      Definisi kemandirian
Kata “kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri’, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan “diri” itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti dari kemandirian.

Emil Durkheim melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Pandangan ini di kenal juga dengan pandangan konformistik. Dengan menggunakan sudut pandang ini, Durkheim berpendirian bahwa kemandirian itu merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa kemandirian itu tumbuh dan berkembang karena adanya dua fakta yang merupakan elemen prasyarat bagi kemandirian, yaitu :
1.      Adanya disiplin yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas
2.      Adanya komitmen terhadap kelompok.

Secara hakiki, perkembangan kemandirian individu sesungguhnya merupakan perkembangan hakikat eksistensial manusia. Penghampiran terhadap kemandirian dengan menggunakan perspektif yang berpusat pada masyarakat cenderung memandang bahwa lingkungan masyarakat merupakan kekuatan luar biasa yang menentukan kehidupan individu. Dari sudut pandang ini, seolah-olah individu itu tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menentukan perbuatannya sendiri. Pandangan yang berpusat pada masyarakat akan cenderung memposisikan pendidikan sebagai proses transmisi budaya yang lebih menekankan pada proses penanaman harapan dan aturan masyarakat.

3.      Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
Lovinger (2009) mengemukakan tingkatan kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut:
1.      Tingkatan pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.       Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat di peroleh dari interaksinya dengan orang lain.
b.      Mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik.
c.       Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype).
d.      Cenderung melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”.
e.       Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.

2.      Tingkatan kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.       Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b.      Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c.       Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d.      Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e.       Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intropeksi.
f.       Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g.      Takut tidak diterima kelompok.
h.      Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i.        Merasa berdosa jika melanggar aturan.

3.      Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.       Mampu berpikir alternatif.
b.      Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c.       Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d.      Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
e.       Memikirkan cara hidup.
f.       Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.

4.      Tingkatan keempat, adalah tingkat seksama (conscientious). Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.       Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b.      Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain.
c.       Sadar akan tanggung jawab.
d.      Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
e.       Peduli akan hubungan mutualistik.
f.       Memiliki tujuan jangka panjang.
g.      Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
h.      Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.

5.      Tingkatan kelima, adalah tingkat individualistik. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.       Peningkatan kesadaran individualitas.
b.      Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan.
c.       Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d.      Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e.       Mampu bersikap toleran terhadapa pertentangan dalam kehidupan.
f.       Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya.
g.      Mengenal kompleksitas diri.
h.      Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.

6.      Tingkatan keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.       Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b.      Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun orang lain.
c.       Peduli terhadap faham-faham abstrak, seperti keadilan sosial.
d.      Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e.       Toleran terhadap ambiguitas.
f.       Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g.      Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h.      Respek terhadap kemandirian orang lain.
i.        Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
j.        Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

4.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Remaja
Ada sejumlah faktor yang sering disebut-sebut sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian, yaitu antara lain sebagai berikut:
1.  Gene atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya melainkan sifat orang tuanya itu muncul dalam cara-cara orang tua mendidik anaknya.

2. Pola asuh orang tua. Cara-cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan keandirian anaknya.

3.     Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potesi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan kemandirian remaja.

4.   Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupa masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hirarkhi struktur sosial, kurang terasa aman atau bahkan mencekam, dan kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan-kegiatan produktif dapat menghambat kelancaraan perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkhis akan merangsang dan mendorong bagi perkembangan kemandirian remaja.

5.      Upaya Pengembangan Kemandirian Remaja dan Implikasinya bagi Pendidikan
Sejumlah intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan kemandirian remaja, antara lain sebagai berikut:
1.    Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a.       Saling menghargai antaranggota keluarga.
b.      Keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja atau keluarga.

2.      Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a.       Toleransi terhadap perbedan pendapat.
b.      Memberikan alas an terhadap keputusan yang diambil bagi remaja.
c.       Keterbukaan terhadap minat remaja
d.      Mengembangkan komitmen terhadap tugas remaja
e.       Kehadiran dan keakraban hubungan dengan remaja

3.   Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a.       Mendorong rasa ingin tahu remaja
b.      Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan
c.       Adanya aturan, tetapi tidak cenderung mengancam bila ditaati

4.      Penerimaan positif tanpa syarat. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a.       Menerima apapun kelebihan maupun kekurangan yang ada pada diri remaja
b.      Tidak membeda-bedakan remaja satu dengan yang lain
c.       Menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk kegiatan produktif apapun meskipun sebenarnya hasilnya kurang memuaskan

5.      Empati terhadap remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a.       Memahami dan menghayati pikiran dan perasaan remaja
b.      Melihat berbagai persoalan remaja dengan menggunakan perspektif atau sudut padang remaja
c.       Tidak mudah mencela karya remaja betapapun kurang bagusnya karya itu

6.      Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a.       Interaksi secara akrab tetapi tetap saling menghargai
b.      Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap remaja
c.       Mambangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar