PERKEMBANGAN
KEMANDIRIAN
1. Pentingnya
Kemandirian Bagi Peserta Didik
Pengaruh
kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah tampak pada berbagai fenomena remaja
yang perlu memperoleh perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir
ini, antara lain: perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol,
reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada
tindak kriminal.
Dalam
konteks proses belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam
belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi,
kebiasaaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan lama dalam belajar dan
baru belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari
kebocoran soal ujian.Problem remaja diatas yang merupakan perilaku-perilaku
reaktif semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang
diprakirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan.
Tantangan
kompleksitas masa depan itu memberikan dua alternatif: pasrah kepada nasib atau
mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi masa
depan tentunya menjatuhkan pilihannya pada alternatif kedua. Artinya,
pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapakan remaja bagi peranannya di masa
depan agar kelak menjadi manusia yang berkualitas dan memiliki kemandirian yang
tinggi.
Ikhtiar
pendidikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengembangkan
kemandirian menjadi sangat penting , karena selain problema remaja dalam bentuk
perilaku negatif sebagaimana dipaparkan di atas ada juga sejumlah gejala
negatif yang tampak menjauhkan individu dari kemandirian. Gejala-gejala
tersebut dapat dipaparkan berikut ini:
1. Ketergantungan
disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas.
Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku formalistik dan ritulistik
serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan menghambat pembentukan etos
kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas
sumberdaya dan kemandirian manusia.
2. Sikap
tidak peduli terhadap lingkungan. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas
dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertransenden terhadap lingkungannnya.
Ketidak-pedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif
yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
3. Sikap
hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan
prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya bisa di atur, yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk adanya ketidak-jujuran berpikir
dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Gejala-gejala
di atas merupakan sebagian dari kendala utama dalam mempersiapakan individu-individu
yang mampu mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh
tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan kepribadian remaja menuju kearah
kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diikhtiarkan secara serius, sistematis,
dan terprogram.
2. Definisi kemandirian
Kata
“kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan
akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena
kemandirian berasal dari kata dasar “diri’, maka pembahasan mengenai
kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan “diri”
itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti
dari kemandirian.
Emil
Durkheim melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang
berpusat pada masyarakat. Pandangan ini di kenal juga dengan pandangan konformistik.
Dengan menggunakan sudut pandang ini, Durkheim berpendirian bahwa kemandirian
itu merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada
kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa kemandirian itu tumbuh dan
berkembang karena adanya dua fakta yang merupakan elemen prasyarat bagi
kemandirian, yaitu :
1. Adanya
disiplin yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas
2. Adanya
komitmen terhadap kelompok.
Secara
hakiki, perkembangan kemandirian individu sesungguhnya merupakan perkembangan
hakikat eksistensial manusia. Penghampiran terhadap kemandirian dengan
menggunakan perspektif yang berpusat pada masyarakat cenderung memandang bahwa
lingkungan masyarakat merupakan kekuatan luar biasa yang menentukan kehidupan
individu. Dari sudut pandang ini, seolah-olah individu itu tidak memiliki
kekuatan apa-apa untuk menentukan perbuatannya sendiri. Pandangan yang berpusat
pada masyarakat akan cenderung memposisikan pendidikan sebagai proses transmisi
budaya yang lebih menekankan pada proses penanaman harapan dan aturan
masyarakat.
3. Tingkatan dan Karakteristik
Kemandirian
Lovinger
(2009) mengemukakan tingkatan kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Tingkatan pertama,
adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peduli
terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat di peroleh dari interaksinya dengan
orang lain.
b. Mengikuti
aturan secara oportunistik dan hedonistik.
c. Berpikir
tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype).
d. Cenderung
melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”.
e. Cenderung
menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
2. Tingkatan kedua,
adalah tingkat konformistik. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peduli
terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b. Cenderung
berpikir stereotype dan klise.
c. Peduli
akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d. Bertindak
dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e. Menyamakan
diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intropeksi.
f. Perbedaan
kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g. Takut
tidak diterima kelompok.
h. Tidak
sensitif terhadap keindividualan.
i.
Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3. Tingkatan ketiga,
adalah tingkat sadar diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Mampu
berpikir alternatif.
b. Melihat
harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c. Peduli
untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d. Menekankan
pada pentingnya pemecahan masalah.
e. Memikirkan
cara hidup.
f. Penyesuaian
terhadap situasi dan peranan.
4. Tingkatan
keempat, adalah tingkat seksama (conscientious).
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Bertindak
atas dasar nilai-nilai internal.
b. Mampu
melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain.
c. Sadar
akan tanggung jawab.
d. Mampu
melakukan kritik dan penilaian diri.
e. Peduli
akan hubungan mutualistik.
f. Memiliki
tujuan jangka panjang.
g. Cenderung
melihat peristiwa dalam konteks sosial.
h. Berpikir
lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
5. Tingkatan
kelima, adalah tingkat individualistik. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peningkatan
kesadaran individualitas.
b. Kesadaran
akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan.
c. Menjadi
lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d. Mengenal
eksistensi perbedaan individual.
e. Mampu
bersikap toleran terhadapa pertentangan dalam kehidupan.
f. Membedakan
kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya.
g. Mengenal
kompleksitas diri.
h. Peduli
akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6. Tingkatan
keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Memiliki
pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b. Cenderung
bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun orang lain.
c. Peduli
terhadap faham-faham abstrak, seperti keadilan sosial.
d. Mampu
mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e. Toleran
terhadap ambiguitas.
f. Peduli
akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g. Ada
keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h. Respek
terhadap kemandirian orang lain.
i.
Sadar akan adanya saling ketergantungan
dengan orang lain.
j.
Mampu mengekspresikan perasaan dengan
penuh keyakinan dan keceriaan.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemandirian Remaja
Ada
sejumlah faktor yang sering disebut-sebut sebagai korelat bagi perkembangan
kemandirian, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Gene
atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi
seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor
keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya
melainkan sifat orang tuanya itu muncul dalam cara-cara orang tua mendidik
anaknya.
2. Pola
asuh orang tua. Cara-cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan
mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu
banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai
dengan penjelasan rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak.
Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya
akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua
yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga
akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan keandirian anaknya.
3. Sistem
pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan
demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa
argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Demikian juga,
proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau
hukuman (punishment) juga dapat
menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, proses pendidikan yang
lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potesi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif
akan memperlancar perkembangan kemandirian remaja.
4. Sistem
kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupa masyarakat yang terlalu menekankan
pentingnya hirarkhi struktur sosial, kurang terasa aman atau bahkan mencekam,
dan kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan-kegiatan
produktif dapat menghambat kelancaraan perkembangan kemandirian remaja.
Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja
dalam berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkhis akan merangsang dan
mendorong bagi perkembangan kemandirian remaja.
5. Upaya Pengembangan Kemandirian
Remaja dan Implikasinya bagi Pendidikan
Sejumlah
intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan kemandirian remaja,
antara lain sebagai berikut:
1. Penciptaan
partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga. Ini dapat diwujudkan dalam
bentuk:
a. Saling
menghargai antaranggota keluarga.
b. Keterlibatan
dalam memecahkan masalah remaja atau keluarga.
2. Penciptaan
keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Toleransi
terhadap perbedan pendapat.
b. Memberikan
alas an terhadap keputusan yang diambil bagi remaja.
c. Keterbukaan
terhadap minat remaja
d. Mengembangkan
komitmen terhadap tugas remaja
e. Kehadiran
dan keakraban hubungan dengan remaja
3. Penciptaan
kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Mendorong
rasa ingin tahu remaja
b. Adanya
jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan
c. Adanya
aturan, tetapi tidak cenderung mengancam bila ditaati
4. Penerimaan
positif tanpa syarat. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Menerima
apapun kelebihan maupun kekurangan yang ada pada diri remaja
b. Tidak
membeda-bedakan remaja satu dengan yang lain
c. Menghargai
ekspresi potensi remaja dalam bentuk kegiatan produktif apapun meskipun
sebenarnya hasilnya kurang memuaskan
5. Empati
terhadap remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Memahami
dan menghayati pikiran dan perasaan remaja
b. Melihat
berbagai persoalan remaja dengan menggunakan perspektif atau sudut padang
remaja
c. Tidak
mudah mencela karya remaja betapapun kurang bagusnya karya itu
6. Penciptaan
kehangatan hubungan dengan remaja. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Interaksi
secara akrab tetapi tetap saling menghargai
b. Menambah
frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap remaja
c. Mambangun
suasana humor dan komunikasi ringan dengan remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar