MAKALAH
MODEL
KONSIDERASI
Disusun
oleh :
Kelompok
4 :
Alexander
Yuda Abimantara (A1C317029)
Ayu
Meilinda (A1C317025)
Melisa Murzanita (A1C317037)
Dosen
Pengampu :
Dwi
Agus Kurniawan, S.Pd., M.Pd.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JAMBI
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah model
konsideraasi ini tepat pada
waktunya. Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
bagi para pembaca.
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas strategi belajar mengajar fisika.
Tidak sedikit kendala yang kami
hadapi dalam menyelasaikan makalah ini, namun dengan motivasi dan dorongan yang
telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu,
kami mungucap terimakasih kepada:
1. Bapak
Dwi Agus Kurniawan , selaku dosen pengampu mata kuliah strategi belajar
mengajar fisika;
2. Teman-teman
yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang penulis buat tentunya masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mohon maaf dan mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua terkhususnya dalam merancang penelitian.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai setiap urusan kita. Amin
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................
i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDUHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Model Konsiderasi........................................................... 3
2.1.2 Tujuan Model Konsiderasi................................................................. 6
2.1.3 Langkah-langkah Pembelajaran Model Konsiderasi.........................11
2.1.4
Unsur-unsur Model Pembelajaran Konsiderasi……………………..14
2.1.5 Asumsi Mengenai Model Konsiderasi............................................... 16
2.1.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Konsiderasi................................ 22
2.1.7 Penerapan Model Konsiderasi........................................................... 23
2.2 Kajian Kritis.......................................................................................... 26
2.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran...................................................... 30
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 40
3.2 Saran..................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Melihat
permasalah kondisi Indonesia dewasa ini, masalah uang, kedudukan, pangkat,
kekuasaan selalu didewakan dan dipentingkan sehingga banyak terjadi pergeseran
nilai yang tumbuh di masyarakat seperti perubahan nilai-nilai sosial, ekonomi
dan kekuasaan. permasalahan tentang pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat
tersebut dapat diatasi dengan menelaah berbagai kemungkinan pemecahan masalah,
salah satunya adalah melalui pendidikan.
Sesuai dengan tujuan pendidikan (UU No 20 Tahun 2003) yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehubungan dengan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, berkualitas, berkarakter dan berbudaya.
Sesuai dengan tujuan pendidikan (UU No 20 Tahun 2003) yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehubungan dengan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, berkualitas, berkarakter dan berbudaya.
Peningkatan kualitas sumber daya
manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada
pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi.
pembentukan karakter sebagai upaya meningkatkan perilaku siswa dilaksanakan
secara berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, dan acting
(Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 31). Tetapi yang terjadi sekarang adalah pola
pendidikan yang masih berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan kurang
memperhatikan pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik. mata pelajaran yang
berkaitan dengan pendidikan karakter pada prakteknya lebih menekankan pada
aspek kognitif tingkat rendah (hanya sekedar tahu saja). Selain itu, sistem
pendidikan yang terfokus pada aspek kognitif bersifat abstrak, serta diikuti
dengan proses belajar siswa (Wijayanti, 2013 : 73).
Bukan hanya sekedar menambah
pemahaman, pengetahuan ataupun wawasan. Dengan adanya pendidikan ini juga
diharapkan mampu membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Karena
ruang lingkup peserta didik tidak hanya di sekolah akan tetapi bagaimana
kedepannya mereka akan terjun langsung ke masyarakat. Perilaku, tindakan,
tingkah laku serta moralitas perlu di bentuk dalam proses pembelajaran di
sekolah. Hal ini bertujuan agar peserta
didik dapat menjalin hubungan atau interaksi dengan orang lain secara baik.
Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang tepat.
Kemerosotan
nilai atau moral semakin kuat kita rasakan dari tahun ke tahun. Tidak jarang
sering kali kita mendengar berita tak mengenakkan yang mencoreng pendidikan
nasional. Kita ambil contoh berita yang kini sedang hangat diperbincangkan
yaitu beberapa siswa SMP di salah satu daerah Indonesia berani melakukan
tindakan kasar terhadap gurunya sendiri. Sungguh sangat menakjubkan bukan,
bagaimana jadinya jika hal ini dibiarkan begitu saja. Oleh sebab itu, sudah
sepatutnya pembentukan kepribadian atau karakter peserta didik perlu ditekankan
lebih baik lagi melalui model pembelajaran yang efektif. Adapun salah satu
model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model konsiderasi.
1.3
Tujuan
1.3.1 Dapat mengetahui pengertian
dari model konsiderasi
1.3.2 Dapat mengetahui tujuan model
konsiderasi
1.3.3 Dapat mengetahui
langkah-langkah pembelajaran model konsiderasi
1.3.4 Dapat mengetahui asumsi
mengenai model konsiderasi
1.3.5 Dapat mengetahui kelebihan
dan kekurangan model konsiderasi
1.3.6 Dapat mengetahui penerapan
model konsideransi
BAB
II
PEMBAHASAN
2. 1 Kajian Pustaka
2.1.1
Pengertian Model Konsiderasi
According
to Guidance (2004 : 6), modelling is a powerful strategy that can be used
across all subjects to help pupils to learn and to develop confidence in a new
skill or procedure. This unit sets out the principles of this strategy and provides
guidance on how to introduce modelling into lessons and make it effective.
Terjemahan :
Menurut Guidance (2004 : 6), pemodelan adalah strategi yang kuat yang dapat digunakan di
semua mata pelajaran untuk membantu siswa belajar dan mengembangkan kepercayaan pada
keterampilan atau prosedur baru. Unit ini menetapkan prinsip-prinsip strategi ini dan memberikan
panduan tentang cara memperkenalkan pemodelan ke dalam pelajaran dan membuatnya efektif.
Menurut Prianggita (2016 : 73),
model konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paul seorang Humanis. Paul menganggap
bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional.
Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan
pengembangan intelektual.Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan,
mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya sendiri.Kebutuhan yang fundamnetal
pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan saling menerima
dengan penuh cinta kasih dan sayang.Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada
strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar
siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain sehingga
mereka dapat bergaul, bekerjasama, hidup secara harmonis dengan orang lain, dan
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Menurut
Soenarko dan Mujiwati (2015 : 36), pembelajaran konsiderasi yang dikembangkan
McPhail (dalam Sanjaya, 2007), menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama
dengan dengan pengem-bangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral adalah
pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.Oleh sebab itu model
konsiderasi menekankan pada pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.
Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian
terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul
secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh
cinta dan kasih sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa perilaku moral
bersifat “self reinforcing”, artinya memperlakukan orang lain dengan penuh
perhatian itu pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat (Hersh, 1980 dalam
Sutarno, 1991:27). Sebagaimana diungkapkan Sutarno (1991:24) yang mengutip
pandangan Nasution (1989), bahwa model ini didasarkan pada kepercayaan bahwa :
(1) Hidup untuk kepentigan orang lain merupakan pengalaman yang membebas-kan
(yakni dari egoisme), (2) Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang
lain kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya. Kebutuhan yang fundamental
pada manusia ialah bergaul secara harmo-nis dengan sesama manusia, saling
memberi dan menerima cinta kasih, “to love and to be loved”. Penggunaan model
pembelajaran konsiderasi, yang lebih mengutamakan kepedulian terhadap orang
lain mengindahkan perasaan orang lain dan tepo saliro atau dengan kata lain
mengutamakan empati.
Menurut
Salim (2010 : 51), Model ini berupaya membebaskan individu dari sifat
destruktif yang mungkin tersamar dalam bentuk kecintaan pada diri sendiri (suka
mementingkan diri sendiri atau kelompoknya sendiri tanpa mau tahu bahwa diluar
juga ada kelompok lain). Sehingga tercipta pribadi yang memiliki kepedulian
atau perhatian pada orang lain atas dasar cinta kasih dan saling menghormati.
Model ini didasarkan atas hasil McPhail yang dilakukan terhadap 800 siswa pria
dan wanita yang berusia 13 - 18 tahun tentang perlakuan baik dan perlakuan
tidak baik yang dilakukan orang dewasa terhadap dirinya. Dan riset yang
dilakukannya, McPhail menginterpretasikan bahwa kelakuan yang baik adalah
kelakuan yang memperlihatkan kepedulian terhadap kebutuhan, perasaan dan
perhatian orang lain. McPhail berpendapat bahwa sekolah terlalu membebani siswa
dengan penumpukan dan pemanipulasian informasi serta terlalu sedikit memberi
perhatian pada kemampuan memecahkan persoalan sekitar identitas pribadi dan
hubungan sosial. McPhail menyatakan bahwa siswa belajar lebih dari apa yang
diajarkan gurunya. Belajar dari contoh-contoh adalah kunci bagi perkembangan
individu secara alamiah. Contoh adalah suatu bentuk pendidikan. Tingkat
berpikir moral yang lebih tinggi - maupun dalam perilaku moral - perlu
dimodelkan dalam situasi kehidupan nyata.
According to Nathan and Robinson (2001 :
78-79), In contrast to Clark, Kozma defines learning as an active, constructive
process whereby the learner strategically manages available cognitive resources
to create new knowledge by extracting information from the environment and
integrating it with information already stored in memory. Cognitive resources
are distributed between a learners internal knowledge base and the external
environment (media, other persons, etc.). Within this framework, the learner
typically builds his or her own knowledge and skill set by participating within
a learning environment.
As one considers the pedagogical
implications from a constructivists view of learning as compared to that
advanced by Clark (1983, 1994a, 1994b), a shift occurs from the delivery of
information to the creation of enabling supports for learners. Although Kozma
contends that knowledge is constructed through the reciprocal interaction of
the learner and the environment, it is ultimately the learner who must actively
and effectively modulate the resources provided within the environment. Put
another way, the environment (teacher, media, self, etc.) can create the
conditions and provide the supports that enable the learning of the student,
but the student, rather than the instructor, fills the executive role and
utilizes these enabling conditions. Thus, this view locates learning agency
with the learner. Just as Clarks view of knowledge leads him to ask about
experimental controls for separate effects of media and method, Kozmas view of
knowledge allows him to challenge the traditional distinction made between media
and method and ask alternative research questions.
Terjemahan :
Berbeda dengan Clark, Kozma mendefinisikan pembelajaran
sebagai proses yang aktif dan konstruktif di mana pembelajar secara strategis
mengelola sumber daya kognitif yang tersedia untuk menciptakan pengetahuan baru
dengan mengekstraksi informasi dari lingkungan dan mengintegrasikannya dengan
informasi yang sudah tersimpan dalam memori. Sumber daya kognitif
didistribusikan antara basis pengetahuan internal peserta didik dan lingkungan
eksternal (media, orang lain, dll.). Dalam kerangka ini, pembelajar biasanya
membangun pengetahuan dan keterampilannya sendiri dengan berpartisipasi dalam
lingkungan belajar.
Ketika seseorang mempertimbangkan implikasi pedagogis
dari pandangan konstruktivis tentang pembelajaran dibandingkan dengan yang
dikemukakan oleh Clark (1983, 1994a, 1994b), pergeseran terjadi dari
penyampaian informasi ke penciptaan dukungan yang memungkinkan bagi peserta
didik. Meskipun Kozma berpendapat bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi
timbal balik dari peserta didik dan lingkungan, pada akhirnya pelajar yang
harus secara aktif dan efektif memodulasi sumber daya yang disediakan dalam
lingkungan. Dengan kata lain, lingkungan (guru, media, diri, dll.) Dapat
menciptakan kondisi dan menyediakanmendukung yang memungkinkan pembelajaran
siswa, tetapi siswa, daripada instruktur, mengisi peran eksekutif dan
memanfaatkan kondisi yang memungkinkan ini. Dengan demikian, pandangan ini
menempatkan agen pembelajaran dengan pembelajar. Sama seperti pandangan Clarks
tentang pengetahuan, dia akan bertanya tentang kontrol eksperimental untuk efek
media dan metode yang terpisah, pandangan Kozmas tentang pengetahuan
memungkinkan dia untuk menantang perbedaan tradisional yang dibuat antara media
dan metode dan mengajukan pertanyaan penelitian alternatif.
2.1.2 Tujuan
Model Konsiderasi
Salah satu alternatif
yang diduga dapat membantu dalam meningkatkan keterampilan sosial ialah dengan
model konsiderasi, yakni sebuah model yang menekankan moralitas, yaitu hidup
bersama dalam sebuah keharmonisan dengan sesama.Model ini dicetuskan oleh
seorang hummanis bernama Paul, Mc Phails. Tujuannya adalah agar peserta didik
menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang
fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain
sehingga manusia dapat hidup berdampingan dengan damai dan dapat diterima
sebagai bagian dari masyarakat ketika peserta didik menjalani kehidupan nyata
di lingkungannya. Tujuan model konsiderasi ialah membantu membentuk perilaku
siswa siswa menjadi matang, melaksanakan hubungan-hubungan sambil mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah. Hasil penelitian pengaruh model konsiderasi ini
dapat menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan keterampilan sosial anak
dengan hambatan emosi dan prilaku (Yulida, 2017 : 16).
Model konsiderasi
menekankan pada pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah
agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang
lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis
dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih
sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa perilaku moral bersifat “self
reinforcing”, artinya memperlakukan orang lain dengan penuh perhatian itu
pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat (Hersh, 1980 dalam Sutarno, 1991:27).
Sebagaimana diungkapkan Sutarno (1991:24) yang mengutip pandangan Nasution
(1989), bahwa model ini didasarkan pada kepercayaan bahwa : (1) Hidup untuk
kepentingan orang lain merupakan pengalaman yang membebas-kan (yakni dari
egoisme), (2) Hanya dengan memberikan “konsiderasi” kepada orang lain
kita dapat mewujudkan diri kita sepenuhnya. Kebutuhan yang fundamental pada
manusia ialah bergaul secara harmo-nis dengan sesama manusia, saling memberi
dan menerima cinta kasih, “to love and to be loved”. Penggunaan model
pembelajaran konsiderasi, yang lebih mengutamakan kepedulian terhadap orang
lain mengindahkan perasaan orang lain dan tepo saliro atau dengan kata lain
mengutamakan empati (Soenarko, 2015 : 37).
Menurut Munawar (2010 : 339),Tujuan
utama pendidikan adalah membentuk kepribadian manusia sesuai dengan hakikat
kemanusiaan dan tuntutan zaman. Kepribadian merupakan masalah yang sangat
penting dalam nation and character
building. Kepribadian adalah sesuatu yang sangat kompleks.Teorikepribadian
merupakan suatu ilmu yang membahas secara sistematis mengenai manusia secara
individu.Ahli psikologi belum mempunyai kesepakatan tentang definisi
kepribadian.Namun demikian ada beberapa definisi yang dapat dijadikan acuan.
Lanyon (1997: 54) mengartikan kepribadian sebagai karakteristik kebiasaan
individu yang signifikan dalam tingkah lakunya berhubungan dengan orang lain.
Atkinson (1983: 417) menyatakan kepribadian sebagai pola perilaku dan cara
berpikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya. Khas yang dimaksud adalah konsistensi perilaku bahwa orang
cenderung untuk bertindak atau berpikir dengan cara tertentu.Dengan demikian
kepribadian dapat diartikan sebagai ekspresi ke luar dari pengetahuan dan
perasaan yang dialami seseorang secara subyektif.Kepribadian merujuk pada
keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang digunakan seseorang dalam
usaha adaptasinya.
Menurut Sanjaya (2006 : 277 – 279),
Proses pembentukan sikap :
1. Pola pembiasaan
Dalam
proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tikdak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya
siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari guru,
misalnya perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka
lama-kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut; dan perlahan-lahan
anak akan mengalihkan sikap negative itu bukan hanya kepada gurunya itu
sendiri, akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang di asuhnya. Kemudian,
untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah pekerjaan mudah.
Belajar
membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui
teorinya operant conditioning.Proses
pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan
proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang
dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali
anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang
menyenangkan. Lama-kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Pembelajaran
sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilisai atau proses mencontoh.Salah karakteristik anak
didik yang sedang berkembang adalah keinginan nya untuk melakukan peniruan
(imitasi).Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau di
demonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya.Proses peniruan ini yang
dimaksud dengan modeling.Modeling adalah proses peniruan anak
terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses
penanaman sikap anak terhadap sesuatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu
diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan.Misalnya, guru perlu menjelaskan
mengapa kita harus telaten terhadap tanaman; atau mengapa kita harus berpakaian
bersih.Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari
oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sitem nilai.
Frankena (Adisusilo,
2012:128) dalam Setiawan (2013 : 58), mengemukakan bahwa tujuan pendidikan
moral mencakup: (1) membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan
tingkah-laku yang secara moral baik dan benar; (2) membantu peserta didik untuk
dapat meningkatkan kemampuan refleksi secara otonom,…; (3) membantu peserta
didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral, norma-norma dalam
menghadapi kehidupan konkretnya; (4) membantu peserta didik untuk mengadopsi
prinsip-prinsip universal, nilai-nilai kehidupan sebagai pijakan untuk
pertimbangan moral dalam menentukan suatu keputusan; dan (5) membantu peserta
didik untuk mampu membuat keputusan yang benar, bermoral, dan bijaksana.
According
to Hoon (2010 : 10), character (moral) education is “a
complicated business” (Kupperman, 2005, p. 216). The complexities and perhaps
the contradictions in ME syllabus and its implementation need to be
acknowledged by all stakeholders. However, if the actual scenario in memorizing
values in ME syllabus were to persist, ME will continue to be ineffective and
meaningless to the students, a “just a waste of time”, and “I just studied Moral
for the sake of doing well in the exam” (The Star Online 2007). Nonetheless, it
should not warrant its exclusion in school as “schooling is character
education” and it “is not only as a remedy to the crisis in society; its actual
aim is to build responsible character and a society that is democratic and
civil society” (Abdul Rahman Md Aroff, 2008, p.7). Hishammuddin Hussien (2005), the then
Minister of Education Malaysia commented that
“student’s
pursuit of academic excellence should include character and personality
development . . . only teachers who have the skills, experience and dedication
would be able to help produce good students who are not only knowledgeable but
also able to shoulder the challenges faced by the country in the future (The
New Straits Times, September 18, 2005)”.
Terjemahan
:
Menurut Hoon (2010 : 10), Pendidikan karakter (moral) adalah "bisnis yang
rumit" (Kupperman, 2005, p. 216).Kerumitan dan mungkin kontradiksi dalam silabus
dan implementasinyaperlu diakui oleh semua pemangku kepentingan. Namun,
jikaskenario yang sebenarnya dinilai menghafal dalam silabus ME harus
dipertahankan, ME akan terus menjadi tidak efektifdan tidak berarti bagi para
siswa, "hanya buang-buang waktu", dan "Saya baru saja belajar
Moral untukdemi melakukan dengan baik dalam ujian ”(The Star Online 2007).
Meskipun demikian, seharusnya tidakmenjamin pengecualiannya di sekolah sebagai
"sekolah adalah pendidikan karakter" dan itu "tidak hanyasebagai
obat untuk krisis di masyarakat; tujuan sebenarnya adalah untuk membangun
karakter yang bertanggung jawab dansebuah masyarakat yang demokratis dan
masyarakat sipil ”(Abdul Rahman Md Aroff, 2008, p.7).Hishammuddin Hussien
(2005), yang kemudian Menteri Pendidikan Malaysia berkomentarbahwa
“Pengajaran akademis siswa harus mencakup karakter dan kepribadian
pembangunan. . . hanya guru yang memiliki keterampilan, pengalaman dan dedikasiakan dapat membantu menghasilkan siswa yang baik yang tidak hanya berpengetahuan tetapi jugajuga mampu memikul tantangan yang dihadapi oleh negara di masa depan (The NewStraits Times, 18 September 2005)”.
pembangunan. . . hanya guru yang memiliki keterampilan, pengalaman dan dedikasiakan dapat membantu menghasilkan siswa yang baik yang tidak hanya berpengetahuan tetapi jugajuga mampu memikul tantangan yang dihadapi oleh negara di masa depan (The NewStraits Times, 18 September 2005)”.
2.1.3 Langkah-langkah Pembelajaran Model
Konsiderasi
Menurut Kadir (2015 : 143), model
konsiderasi dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa
pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional.
Pembelajaran moral peserta didik menurutnya adalah pembentukan pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual.Oleh sebab itu, model ini menekankan
kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah
agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang
lain. Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan
pembelajaranseperti berikut:
a. Menghadapkan
peserta didik pada suatu masalah yang mengandung konflik,yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.Ciptakan situasi”Seandainya peserta didik ada dalam
masalah tersebut’’.
b. Menyuruh
peserta didik untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya
yang tampak,tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,misalnya
perasaan,kebutuhan,dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh
peserta didik untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang
dihadapi.Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat menelaah perasaannya
sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d. Mengajak
peserta didik untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari
setiap respons yang diberikan peserta didik.
e. Mendorong
peserta didik untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan
yang diusulkan peserta didik. Dalam tahapan ini peserta didik diajak berpikir
tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f. Mengajak
peserta didik untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk
menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai
yang dimilikinya.
g. Mendorong
peserta didik agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai
dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
Menurut Rohman (2013 : 172),
manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan
sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi
(consider-ation model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperha-tikan
orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara
harmonis dengan orang lain. Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi:
1. Menghadapkan
siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi
2. Meminta
siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi
berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain
3. Siswa
menuliskan responsnya masing-masing
4. Siswa
menganalisis respons siswa lain
5. Mengajak
siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya
6. Meminta
siswa untuk menentukan pilihannya sendiri
Menurut Asriati (2012 : 115), melalui penggunaan model konsiderasi ini, siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidupsecara harmonis dengan orang lain. Langkah- langkah:(1).menghadapkansiswapada situasiyangmengandung konsiderasi,(2). meminta siswa menganalisis situasi berkenaan dengan perasaan, kebutuhandan kepentingan orang lain, (3). siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4). siswa menganalisis respons siswa lain, (5). mengajaksiswamelihatkonsekuesi daritiap tindakannya, (6).Memintasiswa untuk menentukan pilihannya.
Menurut Sanjaya (2006 : 280-281),
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran
seperti dibawah ini.
a. Menghadapkan
siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa ada dalam masalah
tersebut”.
b. Menyuruh
siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh
siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal
ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum ia
mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d. Mengajak
siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap
respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong
siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala
kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya. Guru perlu menjaga
agar siswa dapat menjelaskan argumennya secara tebuka serta dapat saling
menghargai pendapat orang lain. Diupayakan agar perbedaan pendapat tumbuh
dengan baik sesuai dengan titik pandang yang berbeda.
f. Mengajak
siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang (interdisipliner)
untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan
nilai yang dimilikinya.
g. Mendorong
siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Guru hendaknya tidak menilai
benar atau salah atas pilihan siswa. Yang diperlukan adalah guru dapat
membimbing mereka menentukan pilihan yang lebih matang sesuai dengan
pertimbangannya sendiri.
2.2.4 Unsur-unsur Model Pembelajaran Konsiderasi
Menurut Joyce (2015 : 465-469) :
a.
Sintaks
Pada tahap pertama, penjelasam ,
mengenai keadaan yang membutuhkan bantuan. Tahap ini mencakup serangkaian
pernyataan yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan perasaan,
sebuah persetujuan mengenai focus umum dalam pembelajaran memang akan
dilanjutkan, dan penetapan prosedur tatap muka. Tahap pertama ini biasanya
berlangsung selama sesi pertama dalam membahas masalah tertentu. Namun,
penyusunan dan penjelasan yang diberikan oleh guru mungkin saja dibutuhkan
dalam beberapa waktu, meskipun hal ini sering kali memberikan kesimpulan yang
berubah-ubah dalam menjabarkan kembali masalah dan kemajuan yang diperoleh.
Secara alamiah, komentar-komentar yang sudah tersusun dan terjabarkan ini akan
berbeda dengan masalah yang dihadapi siswa. Misalkan saja, negosiasi kontrak
akademik akan sangat berbeda dibandingkan menghadapi situasi-situasi
problematic yang berhubungan dengan perilaku.
Pada tahap kedua, melalui
penerimaan guru dan kejelasan masalah, siswa didorong untuk mengungkapkan
perasaan positif dan negatif serta mengatakan dan menjelaskan masalah yang ada.
Pada tahap ketiga, secara bertahap
dan perlahan-lahan, siswa mulai mengembangkan wawasan yang dimilikinya ; siswa
merasakan ada makna baru dari pengalaman pribadinya, melihat adanya sebuah
hubungan baru antar sebab dan akibat, serta memahami makna dibalik tingkah laku
yang di rasakanya. Pada kebanyakan situasi siswa diminta untuk menjelaskan
masalah dan mengembangkan wawasan baru mereka mengenai perasaannya secara
bergantian. Kedua aktivitas tersebut sama-sama dibutuhkan untuk mencapai
kemajuan. Mendiskusikan masalah tanpa adanya penjelasan mengenai perasaan hanya menunjukkan bahwa siswa
tersebut dijauhi.
Pada tahap keempat, konsentrasi
siswa diarahkan untuk perencanaan dan pembuatan keputusan dengan mengacu pada
masalah yang ada. Peran guru pada tahap ini adalah menjelaskan dan membeberkan
beberapa alternative.
Dalam tahap kelima, siswa
melaporkan tindakan yang dilakunkannya, mengembangkan wawasan, serta
merencanakan tindakan yang lebih positif, terpadu, dan menunjukkan kemajuan.
Struktur pengajaran yang disajikan
disini dapat dilangsungkan dalam satu sesi, atau bahkan dalam beberapa
rangkaian. Untuk kasus terakhir, tahap pertama dan kedua dapat terjadi dalam
tahap-tahap awal diskusi, dilanjutkan dengan tahap ketiga dan keempat, dan
tahap kelima pada akhir wawancara. Atau jika ada tatap muka lain dengan siswa
yang kebetulan memiliki masalah mendadak, tahap pertama hingga keempat bisa
dilangsungkan dalam satu pertemuan, dengan meminta mereka menjelaskan perilaku
dan wawasannya secara singkat. Disisi lain, sesi yang melibatkan negosiasi
kontrak akademik dipertahankan selama beberapa waktu tertentu, dan konteks
setiap pertemuan/tatap muka pada umumnya mencakup beberapa perencanaan dan
pembuatan , walaupun ada beberapa sesi yang sepenuhnya digunakan untuk
membeberkan sebuah masalah yang mungkin saja terjadi. Hal yang sangat penting
dalam hal ini adalah pemahaman siswa
dirinya memiliki tanggung jawab pada dampak/pengaruh yang akan mereka
rasakan dari pada tak berdaya mengatasi masalah-masalah yang datang dari luar.
b.
Sistem
Sosial
Sistem sosial dalam strategi tak
terarah mengharuskan guru berperan sebagai fasilitator atau reflector. Namun,
hal yang paling penting untuk ditekankan adalah bahwa siswa bertanggung jawab
pada pengelolaan proses interaksi (control); adanya pembagian kewenangan antara
siswa dan guru. Norma-norma dalam konteks ini menyangkut ekspresi perasaan
secara bebas dan kemandirian pikiran serta perilaku. Reward, untuk perilaku atau hasil tertentu dan utamanya hukuman
tidak diterapkan dalam strategi ini. Rewards
dalam wawancara tidak terarah (nondirective
interview) lebih subtil dan bersifat intrinsic penerimaan, pemahaman, dan
empati dari guru. Pengetahuan mengenai diri sendiri dan reward psikologis yang diperoleh dari kepercayaan diri dikembangkan
sendiri oleh siswa.
c.
Prinsip-prinsip
Reaksi
Tugas-tugas guru didasarkan pada
upaya menggiring siswa pada ranah penelitian tentang pengaruh. Guru sebisa
mungkin menjangkau siswa, berempati pada kepribadian dan masalah yang dihadapi dan
merespons dengan berbagai cara untuk membantu siswa menjauhkan masalah dan
perasaannya, bertanggung jawab pada
tindakan mereka, dan merencanakan sasaran-sasaran serta metode-metode dalam
mencapai karakteristik siswa.
d.
Sistem
Pendukung
Sistem pendukung dalam strategi ini
berbeda menurut fungsi wawancara. Jika sebuah sesi wawancara adalah untuk
menegosiasikan kontrak akademik, maka
hal-hal yang diperlukan dalam pembelajaran terarah-diri (self-directed learning) harus tersedia dan sesuai. Jika wawancara
mencakup proses konseling menyangkut masalah-masalah perilaku, harus ada
sumber-sumber yang dapat membantu guru melakukan hal semacam ini. Dalam kasus
tersebut, situasi one-to-one mensyaratkan susunan ruang yang memudahkan siswa
untuk berpindah diseluruh penjuru kelas dan untuk melakukan aktivitas yang
berbeda serta menyediakan banyak waktu dan tidak terburu-buru dalam membeberkan
sebuah masalah dengan cukup mendetail. Untuk wilayah kurikulum akademik,
semisal membaca, menulis, ilmu kesusastraan, dan ilmu sosial membutuhkan
deretan materi yang cukup memadai.
2.3.5 Asumsi Mengenai Model Konsiderasi
Menurut Agustianingsih (2017 : 132), model
pembelajaran konsiderasi sesuai dengan teori belajar humanistik. Menurut Carl
Rogers aplikasi teori humanistik terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk
pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode
yang diterapkan. Teori belajar humanistik lebih menekankan perlunya sikap
saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu
individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.Itu berarti, peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa dan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri.
According
to Djuwita (2001) inArmadani (2017 :
1586),suggested the assumptions underlying the model considerations,
namely: (1) moral behavior is strengthening (self-reinforcing), (2) the moral
education should be directed to the personality as a whole (the total
personality), (3) students appreciate the adults who made himself a "role
model concern" (consideration), (4) students open to learning, but hated
authoritarianism, domination, bondage, (5) a teenager is gradually evolving
toward maturity in social relationships (the ability to care for and help others).
On the basis of the above assumptions, the teacher must be a model in the class
treats every student with respect, away from the authoritarian attitude.
Teachers need to promote unity, mutual trust, mutual respect, and so forth.
Terjemahan :
Menurut Djuwita
(2001) dalam Armadani (2017: 1586), menyarankan asumsi yang mendasari model konsiderasi, yaitu: (1)
perilaku moral memperkuat (memperkuat diri), (2) pendidikan moral harus
diarahkan pada kepribadian sebagai keseluruhan (kepribadian total), (3) siswa
menghargai orang dewasa yang menjadikan dirinya "perhatian panutan"
(pertimbangan), (4) siswa terbuka untuk belajar, tetapi membenci
otoritarianisme, dominasi, perbudakan, (5) remaja secara bertahap berkembang
menuju kedewasaan dalam hubungan sosial (kemampuan untuk merawat dan membantu
orang lain). Atas dasar asumsi di atas, guru harus menjadi model dalam kelas
memperlakukan setiap siswa dengan hormat, jauh dari sikap otoriter. Guru perlu
mempromosikan persatuan, saling percaya, saling menghormati, dan sebagainya.
According to Reading (2004 : 38) in Wild and Pfannkuch’s (1999, p. 226) consideration of variation includes
four components:
1.
noticing and acknowledging variation: recognizing the omnipresence
of variation and the need to record this variation in discussions;
2.
measuring and modeling variation for the purposes of prediction,
explanation, or control: creating summaries (numerical or graphical) to
represent the variation in the data and using these summaries to represent the
impact of variation;
3.
explaining and dealing with variation: looking for the causes of
variation and considering the impact on design and sampling; and
4.
using investigative strategies in relation to variation: formal
procedures for looking at the properties of the variation itself.
Terjemahan :
Menurut Reading (2004: 38), Variasi konsiderasi Wild dan Pfannkuch (1999, p. 226) mencakup empat komponen:
1. menyadari dan mengakui variasi: mengenali kemahahadiran variasi dan kebutuhan untuk merekam variasi ini dalam diskusi;
2. Pengukuran dan pemodelan variasi untuk keperluan prediksi, penjelasan, atau kontrol: membuat ringkasan (numerik atau grafis) untuk merepresentasikan variasi dalam data dan menggunakan ringkasan ini untuk mewakili dampak variasi;
3. menjelaskan dan menangani variasi: mencari penyebab variasi dan mempertimbangkan dampaknya terhadap desain dan pengambilan sampel; dan
4. menggunakan strategi investigasi dalam kaitannya dengan variasi: prosedur formal untuk melihat properti dari variasi itu sendiri.
Menurut Rosidatun (2018 : 25),
perlu dipahami bahwa sebenarnya telah ada konsep pendidikan karakter yang asli
di Indonesia. Konsep pendidikan karakter yang asli di Indonesia itu dapat
digali dari berbagai adat istiadat dan budaya di Indonesia, ajaran berbagai
agama yang ada di Indonesia serta praktek kepemimpinan yang telah diterapkan di
Indonesia. Di Indonesia, sebagai hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 14 Januari 2010 telah
dicapai kesepakatan nasional pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
yang dinyatakan sebagai berikut :
1. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari
pendidikan nasional secara utuh.
2. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai
proses kebudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara
kelembagaan perlu diwadai secara utuh.
3. Pendidikan
budaya dan karate bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
masyarakat, sekolah dan orang tua.
According
to Schroeder (2010 : 137), in order to be information literate, a student must
master the cognitive skills and abilities embodied in the ACRL information
literacy standards. Cognition does not stand alone, however. An example of the
role that dispositions and values play in supporting cognitive goals is
afforded by an outcome closely related to information literacy critical
thinking (CT).
Terjemahan :
Menurut Schroeder (2010 : 137), seiring perkembangan literasi informasi, seorang siswa harus menguasai keterampilan kognitif dan kemampuan yang diwujudkan dalam standar literasi informasi ACRL. Kognisi tidak berdiri sendiri. Contoh peran yang dimainkan oleh disposisi dan nilai-nilai dalam mendukung sasaran kognitif diberikan oleh hasil yang erat kaitannya dengan literasi informasi berpikir kritis (CT).
According to Shwartz(2014 :23) More abstractly, viewing learning as a process of “using experience to gain expertise,” supervised learning describes a scenario in which the “experience,” a training example, contains significant information (say, the spam/not-spam labels) that is missing in the unseen “test examples” to which the learned expertise is to be applied. In this setting, the acquired expertise is aimed to predict that missing information for the test data. In such cases, we can think of the environment as a teacher that “supervises” the learner by providing the extra information (labels). In unsupervised learning, however, there is no distinction between training and test data. The learner processes input data with the goal of coming up with some summary, or compressed version of that data.
Terjemahan :
Menurut
Shwartz (2014 : 23), Lebih abstrak,
melihat pembelajaran sebagai proses "menggunakan pengalaman untuk
mendapatkan keahlian," pembelajaran yang diawasi menggambarkan skenario di
mana "pengalaman," contoh pelatihan, mengandung informasi yang
signifikan (misalnya, spam / bukan-spam label) yang hilang dalam "contoh
uji" yang tidak terlihat yang mana keahlian yang dipelajari harus
diterapkan. Dalam pengaturan ini, keahlian yang diperoleh bertujuan untuk
memprediksi bahwa informasi yang hilang untuk data uji. Dalam kasus seperti
itu, kita dapat menganggap lingkungan sebagai guru yang "mengawasi"
pembelajar dengan memberikan informasi tambahan (label). Namun, dalam
pembelajaran yang tidak diawasi, tidak ada perbedaan antara pelatihan dan data
uji. Pelajar memproses input data dengan tujuan menghasilkan beberapa
ringkasan, atau versi terkompresi dari data tersebut.
Selama 35 tahun terakhir, sejumlah
penelitian telah memaparkan efektifitas perilaku yang dapat merancang intruksi
dan bantuan dengan ruang lingkup masalah-masalah pendidikan yang cukup luas,
dari phobia terhadap mateti pelajaran semisal Matematika, penurunan
keterampilan sosial, masalah perilaku, hingga kecemasan menghadapi ujian.
Penelitian-penelitian itu juga menunjukkan bahwa beberapa prosedur ini bisa
digunakan secara efektif dalm format kelompok dan oleh orang awam. Kami
meyakini bahwa teori perilaku menawarkan deretan model yang bisa sangat
bermanfaat bagi guru, perencanaan kurikulum, dan pembuat materi intruksional (Joyce,
2015 : 503).
According
to Aspin (2007 : 2 – 3), in approaches to questions of values and values
education as a key feature of life long learning, schools and other educating
institutions are being seen as having an important role in assisting young people,
adults, and the more mature members of the community to make sense of their
world, make rational and informate choices about their owent lives, accept
responsibility for their own actions and understand, and develope their
personal and social responsibilities as a basis for a life in which they can
exercise judgement and responsibility in matters such as those of personal and
social relationships, morality and ethics consideration is also being given to
the respective roles of parents, schools, and other institutions and agencies,
in forming young people values and in helping them make sense of the values
promoted in society by the media, members of the broader community and their
peers.
Terjemahan :
Menurut
Aspin (2007 : 2 – 3), dalam
pendekatan terhadap pertanyaan nilai dan nilai pendidikan sebagai fitur kunci
dari pembelajaran seumur hidup, sekolah dan lembaga pendidikan lainnya
dipandang memiliki peran penting dalam membantu orang muda, orang dewasa, dan
anggota masyarakat yang lebih dewasa untuk memahami dunia mereka, membuat
pilihan yang rasional dan menginformasikan tentang kehidupan berhutang mereka,
menerima tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri dan memahami, dan
mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial mereka sebagai dasar untuk
kehidupan di mana mereka dapat melakukan penilaian dan tanggung jawab dalam
hal-hal seperti pribadi dan hubungan sosial, moralitas dan pertimbangan etika
juga diberikan kepada peran masing-masing orang tua, sekolah, dan lembaga dan
lembaga lain, dalam membentuk nilai-nilai anak muda dan dalam membantu mereka
memahami nilai-nilai yang dipromosikan di masyarakat oleh media, anggota dari
komunitas yang lebih luas dan rekan-rekan mereka.
Pada paradigm baru, mengajar
dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar.
Dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Untuk apa menyampaikan
materi pelajaran kalau siswa tidak belajar? Untuk apa siswa menguasai materi
pelajaran sebanyak-banyaknya kalau ternyata materi yang dikuasai nya itu hanya
ditumpuk di otak, tidak berdampak terhadap perubahan perilaku dan kemampuan
siswa. Dengan demikian yang penting dalm mengajar adalah proses merubah
perilaku (Sanjaya, 2017 : 13).
2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Model Konsiderasi
Menurut Kadir (2015 :
6), kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran model konsiderasi :
1. Kelebihan
a. Dalam
pelaksanaan pembelajaran sikap akan dapat membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat.
b. Mengembangkan
potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap.
c. Menjadi
saran pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
d. Peserta
didik akan lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, dan mana
yang halal dan mana yang tidak halal.
e. Peserta
didik akan mengetahui hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak
berharga atau tidak berguan (sikap negative).
f. Dengan
pelaksanaannya strategi pembelajaran sikap akan memperkuat karakter bangsa
Indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini.
g. Dengan
pelaksanaan pembelajaran sikap peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan
pandangan yang di anggap baik atau tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku.
2.
Kekurangan
a.
Kurikulum yang berlaku selama ini
cendrung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif) dimana
anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan pembentukan sikap
dan moral.
b.
Sulitnya melakukan control karena
banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Menurut
Joice & Weil (2003 : 325) dalam Himawan (2018 : 14), meskipun prinsip
behavioris telah digunakan untuk merancang materi pembelajaran, seperti
simulasi, yang telah digunakan oleh sejumlah besar peserta didik, kerangka
acuan behavioris cenderung mengarah pada diskrit, konkrit, dan individual. Dua
tanggapan yang serupa secara eksternal tidak harus dilanjutkan dari rangsangan
asli yang sama (satu orang mungkin ramah secara lahiriah karena keramahan
menarik orang sementara orang lain mungkin berperilaku serupa, namun untuk
menghindari dijauhi atau diabaikan).
Sebaliknya,
tidak ada orang yang akan merespon stimulus yang sama dengan cara yang persis
sama. Akibatnya prosedur untuk mendorong perilaku baru melibatkan penetapan
tujuan perilaku individual yang spesifik. Hal ini tidak berarti bahwa pelatihan
kelompok tidak mungkin dilakukan. Hal ini berarti bahwa tujuan setiap peserta
didik mungkin berbeda dan bahwa proses pelatihan perlu disesuaikan secara
individual dalam hal konten.
2.1.6 Penerapan Model Pembelajaran Konsiderasi
Menurut Agustiningsih, dkk (2017:133),
dalam menerapkan model pembelajaran konsiderasi, guru sebagai fasilitator
sebelumnya telah membentuk kelompok diskusi secara random dengan tujuan agar
siswa bisa menerima anggota kelompoknya tanpa pilih-pilih. Kemudian guru
memberikan suatu kasus yang problematis kepada siswa untuk selanjutnya
dianalisis sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. Dalam proses ini guru
memberikan kebebasan kepada siswa untuk saling berpendapat dan menentukan
setiap keputusan yang akan diambil siswa untuk menyelesaikan masalah yang
sedang didiskusikan. Guru tidak menuntut siswa untuk menjawab sesuai dengan
keinginan guru, akan tetapi guru hanya memberikan arahan dan bimbingan kepada
siswa dalam berdiskusi, serta merespon pertanyaan siswa jika siswa bertanya
terkait tugas diskusi. Setelah itu guru mendengarkan siswa yang menyampaikan
hasil diskusinya mengungkapkan bagaimana perasaannya dan solusinya jika berada
dalam maslah tersebut.
Menurut Joice (2015 : 470), Model
pengajaran tidak terarah bisa diterapkan untuk beberapa jenis situasi
permasalahan, seperti masalah pribadi, sosial, dan akademik. Untuk kasus yang
termasuk dalam permasalah pribadi, siswa menjelaskan perasaan mereka mengenai
dirinya sendiri. Untuk masalah sosial, siswa mengungkapkan apa yang
dirasakannya mengenai hubungannya dengan orang lain dan mencari tahu bagaimana
perasaan dan penilaian terhadap diri sendiri tersebut dapat memengaruhi
hubungan- hubungan ini. Untuk masalah akademik, siswa menjelaskan perasaannya
mengenai ketertarikan dan kemampuannya terkait segala hal dalam dunia
akademiknya. Dalam setiap kasus dan permasalahan tersebut, materi wawancara
harus selalu bersifat pribadi dan tidak eksternal; ia berpusat pada perasaan
setiap orang, pengalaman, wawancara dan solusi.
Untuk
menggunakan model pengajaran tidak terarah secara efektif, seorang guru harus
mau dan berkeinginan kuat untuk menerima dan menyadari bahwa siswa bisa
mengerti dan menghadapi kehidupan mereka sendiri. Kepercayaan mengenai
kapasitas siswa dalam mengarahkan diri mereka dikomunikasikan lewat sikap dan
perilaku verbal guru. Guru janga berusaha menghakimi siswa. Peran yang demikian
ini hanya akan membatasi kepercayaan diri dalam diri siswa. Guru juga tidak
diperkenankan mendiagnosis masalah. Guru hanya berusaha untuk merasakan dunia
siswa menurut apa yang dilihat dan dirasakannya.
According
to Parr dan Timperley (2008 : 57), The key to better learning for students is better teaching
(Darling-Hammond 2000). Effective teaching is underpinned by an
evidence-informed and well-articulated knowledge about the content of what one
is teaching, about how to teach and about one’s students. Effective practice is
not something absolute but, rather, is achieved by knowledgeable, committed
teachers who tailor and adapt their practices to the ongoing needs of their
learners in order to achieve outcomes of a high standard across heterogeneous
groups of students (Alton-Lee 2003). Knowledge of the learner involves
identifying patterns of strengths and weaknesses; looking backward at what has
been done, to assess the effectiveness of instruction in terms of rate and
extent of progress, and looking forward to work out what to teach next
(Timperley and Parr 2004). This knowledge comes from ongoing assessment to
inform and guide instruction (Crooks 1993; Tunstall and Gipps 1996; Black and
Wiliam 1998; Torrance and Prior 1998), allowing better or more accurate
decisions to be made (Stoll et al. 2003). Closely analysed evidence about the
learning of students allows deliberate adjustments to a classroom teaching programme
in order to meet the needs of students better.
Terjemahan :
Menurut
Parr dan Timperley (2008 : 57),Kunci
untuk belajar yang lebih baik bagi siswa adalah pengajaran yang lebih baik
(Darling-Hammond, 2000). Pengajaran yang efektif didukung oleh pengetahuan yang
diinformasikan bukti dan diartikulasikan dengan baik tentang isi dari apa yang
diajarkan seseorang, tentang cara mengajar dan tentang siswa seseorang. Praktik
yang efektif bukanlah sesuatu yang absolut tetapi, lebih tepatnya, dicapai oleh
guru yang berpengetahuan dan berkomitmen yang menyesuaikan dan menyesuaikan
praktik mereka dengan kebutuhan berkelanjutan dari pembelajar mereka untuk
mencapai hasil dari standar yang tinggi di seluruh kelompok siswa heterogen
(Alton-Lee 2003) . Pengetahuan tentang pembelajar melibatkan identifikasi pola
kekuatan dan kelemahan; melihat ke belakang pada apa yang telah dilakukan,
untuk menilai efektivitas instruksi dalam hal tingkat dan tingkat kemajuan, dan
melihat ke depan untuk mencari tahu apa yang harus diajarkan selanjutnya
(Timperley dan Parr 2004). Pengetahuan ini berasal dari penilaian berkelanjutan
untuk menginformasikan dan membimbing instruksi (Crooks 1993; Tunstall dan
Gipps 1996; Black dan Wiliam 1998; Torrance dan Prior 1998), memungkinkan
keputusan yang lebih baik atau lebih akurat untuk dibuat (Stoll et al. 2003).
Erat dianalisis bukti tentang pembelajaran siswa memungkinkan penyesuaian yang
disengaja untuk program pengajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan siswa yang
lebih baik.
According
to Pascal (2009 : 13) , two alternative views of teaching emphasise, on the one
hand, the teacher’s role in transmitting knowledge and providing correct
solutions, and on the other, the teacher’s role as a facilitator of active
learning by students who seek out solutions for themselves. Comparing teacher
beliefs with classroom disciplinary climate, the analysis found that in
Hungary, Italy, Korea, Poland and Slovenia, teachers with “constructivist”
beliefs that regard students as active participants in the process of acquiring
knowledge are more likely to report positive classroom disciplinary climate.
Terjemahan :
Menurut Pascal (2009 : 13), Dua pandangan alternatif pengajaran menekankan, di satu sisi, peran guru dalam mentransmisikan pengetahuan dan memberikan solusi yang tepat, dan di sisi lain, peran guru sebagai fasilitator pembelajaran aktif oleh siswa yang mencari solusi untuk diri mereka sendiri. Membandingkan keyakinan guru dengan iklim disiplin kelas, analisis menemukan bahwa di Hungaria, Italia, Korea, Polandia dan Slovenia, guru dengan keyakinan "konstruktivis" yang menganggap siswa sebagai peserta aktif dalam proses memperoleh pengetahuan lebih mungkin untuk melaporkan iklim disiplin kelas yang positif.
1.1
Kajian
Kritis
Model Konsiderasi adalah model
pembelajaran yang dikembangkan oleh Mc. Phail, dia menyatakan bahwa pembentukan
moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral
adalah pembentukan kepribadian seseorang bukan untuk pengembangan intelektual.
Model ini berupaya membebaskan individu dari sifat destruktif yang mungkin
tersamar dalam bentuk kecintaan pada diri sendiri (suka mementingkan diri sendiri
atau kelompoknya sendiri tanpa mau tahu bahwa diluar juga ada kelompok lain)
Manusia seringkali bersifat
egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan dan sibuk mengurusi dirinya
sendiri. Kebutuhan yang fundamnetal pada manusia adalah bergaul secara harmonis
dengan orang lain,
saling memberi dan saling menerima dengan penuh cinta kasih dan sayang. Oleh
karena itu model ini ditekankan untuk membentuk kepribadian.
Tujuan dari model pembelajaran
konsiderasi ini adalah agar peserta didik menjadi manusia yang memiliki
kepedulian terhadap orang lain dan tidak egois. Kebutuhan yang fundamental pada
manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan
menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Model konsiderasi berasumsi bahwa
perilaku moral bersifat “self reinforcing”, artinya memperlakukan orang
lain dengan penuh perhatian itu pada dasarnya menyenangkan dan bermanfaat.
Langkah-langkah dalam pembelajaran
model konsiderasi ini adalah sebagai berikut :
a. Menghadapkan
peserta didik pada situasi yang mengandung konflik, misalnya yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Menyuruh
peserta didik untuk menganalisis suatu konflik atau masalah dengan melihat
bukan hanya yang tampak tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut.
c. Menyuruh
peserta didik untuk menulis atau memberi tanggapannya tentang permasalahan yang
dihadapi.
d. Mengajak
peserta didik untuk menganalisis respons dari orang lain serta membuat kategori
tentang respons orang lain mengenai permasalahan tersebut.
e. Mendorong
peserta didik untuk merumuskan konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan
peserta didik.
f. Mengajak
peserta didik untuk melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang agar dapat
menambah wawasan.
g. Mendorong
peserta didik agar merumuskan sendiri tindakan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangannya sendiri.
Sintaks pembelajaran
mempuyai 5 tahap, yaitu :
1.
Pada tahap pertama, penjelasam ,
mengenai keadaan yang membutuhkan bantuan.
2.
Pada tahap kedua, siswa didorong untuk
mengungkapkan perasaan positif dan negatif serta mengatakan dan menjelaskan
masalah yang ada.
3.
Pada tahap ketiga, secara bertahap dan
perlahan-lahan, siswa mulai mengembangkan wawasan yang dimilikinya.
4.
Pada tahap keempat, konsentrasi siswa
diarahkan untuk perencanaan dan pembuatan keputusan dengan mengacu pada masalah
yang ada.
5.
Pada tahap kelima, siswa melaporkan
tindakan yang dilakunkannya.
Sistem
sosial dalam strategi tak terarah mengharuskan guru berperan sebagai
fasilitator atau reflector. Namun, hal yang paling penting untuk ditekankan
adalah bahwa siswa bertanggung jawab pada pengelolaan proses interaksi
(control); adanya pembagian kewenangan antara siswa dan guru.
Model konsiderasi mengansumsikan
bahwa pembelajaran siswa lebih menekankan pada pendidikan serta perilaku moral,
adanya sikap saling menghargai, dan terbuka kepada orang lain. Oleh sebab itu,
guru berperan sebagai model dalam kelas sebagai panutan bagi para siswa.Tidak
hanya itu, guru juga menfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa untuk
mendampini siswa memperoleh tujuan pembelajaran.Guru juga harus terus
memberikan motivasi serta kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan
siswa.
Setiap
model pembelajaran tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri
begitu juga dengan model konsiderasi. Adapun kelebihan dari model konsiderasi
antara lain akan terbentuknya watak serta peradaban bangsa yang bermartabat,
ikut mengembangkan potensi peserta didik terkhususnya dalam hal nilai dan
sikap, menjadi sarana pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, serta dengan adanya model konsiderasi peserta didik dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sementara kekurangan dari
model konsiderasi itu diantaranya, kurikulum yang berlaku selama ini cenderung
hanya diarahkan untuk kemampuan kognitif sehingga peserta didik hanya ditujukan
pada kemampuan menguasai materi pembelajaran.
Dalam
penerapannya, kita tahu bahwa dalam model konsiderasi guru berperan sebagai
fasilitator yang sebelumnya telah membentuk kelompok diskusi secara random.
Setelah itu guru akan memberikan sebuah kasus yang akan didiskusikan oleh
masing-masing kelompok. Selanjutnya para siswa diberikan kebebasan untuk saling
berpendapat dan memberikan keputusan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan.Kewajiban seorang guru dalam situsi seperti ini adalah membimbing
para siswa, memberikan arahan, serta merespon pertanyaan yang diajukan siswa
terkait diskusi yang dilakukan. Kemudian guru akan mendengarkan hasil diskusi
siswa dan menyampaikan solusi yang terbaik dalam memecahkan permasalahan
tersebut.
RENCANA PELAKSANAAPEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan : SMA Negeri 2 Tebo
Mata Pelajaran : Fisika
Kelas / Semester : X/Ganjil
Peminatan : MIA
Materi Pokok : Gerak Lurus (GLB dan GLBB)
Alokasi Waktu : 1 x 3 JP
A. Kompetensi
Inti (KI)
KI 1 : Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI 2 : Mengembangkan perilaku (jujur,
disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong,
kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai
bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami dan menerapkan
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya
untuk memecahkan masalah.
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan
ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah
secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi
Dasar dan Indikator
1.1 Bertambah
keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan
jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya
1.2 Menyadari
kebesaran Tuhan yang mengatur karakteristik fenomena gerak.
2.1 Menunjukkan
perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti; cermat;
tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif dan
peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap
dalam melakukan percobaan dan berdiskusi
2.2 Menghargai
kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud
implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan
3.3 Menganalisis
besaran-besaran fisis pada gerak lurus dengan kecepatan konstan dan gerak lurus
dengan percepatan konstan
Indikator:
·
Mendeskripsikan
gerak lurus beraturan dengan menggunakan grafik
·
Merumuskan
perpindahan pada Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·
Menjelaskan
karakteristik Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·
Menghitung
besar perpindahan pada Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·
Menganalisis
besar perpindahan pada Gerak Lurus Beraturan (GLB)
·
Memberikan
2 contoh gerak lurus beraturan dalam kehidupan sehari-hari
·
Menjelaskan
pengertian Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
·
Menggambarkan
grafik hubungan antar besaran pada Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
·
Menganalisis
persamaan-persamaan GLBB untuk menyelesaikan permasalahan dalam bentuk soal
·
Menerapkan
GLBB dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan beberapa contoh
4.3
Menyajikan data dan grafik hasil percobaan untuk menyelidiki sifat gerak benda
yang bergerak lurus dengankecepatan konstan dan gerak lurus
dengan percepatan konstan
Indikator:
·
Mengolah
dan menyajikan data percobaan GLB dan GLBB sesuai dengan langkah-langkah di LKS
·
Menganaliis
gerak benda yang bergerak lurus dengan kecepatan konstan dan gerak lurus dengan
percepatan konstan menggunakan grafik hasil percobaan
B. Tujuan
Pembelajaran
Setelah
proses demonstrasi, kaji pustaka, eksperimen, diskusi kelompok, dan tanyajawab,
peserta didikdapat:
§ Mendeskripsikan gerak lurus beraturan
dengan menggunakan grafik
§ Merumuskan perpindahan pada gerak lurus
beraturan (GLB)
§ Menjelaskan karakteristik gerak lurus
beraturan (GLB)
§ Menghitung besar perpindahan pada gerak
lurus beraturan
§ Menganalisis besar perpindahan pada
gerak lurus beraturan
§ Menjelaskan pengertian Gerak Lurus
Berubah Beraturan (GLBB)
§ Menggambarkan grafik hubungan antar
besaran pada Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB)
§ Menganalisis persamaan-persamaan GLBB
untuk menyelesaikan permasalahan dalam bentuk soal
§ Menerapkan GLBB dalam kehidupan
sehari-hari dengan memberikan beberapa contoh
C. Materi
Pembelajaran Fakta
§ Video perjalanan angkot dari terminal
Hamid Rusdi ke terminal Gadang
§ Video mobil bergerak secara GLB
§ Video mobil bergerak secara GLBB
§ Simulasi gerak GLBB
§ Gerak lurus beraturan
§ Gerak lurus berubah beraturan
Prinsip
o Besarnya kecepatan dan percepatan benda
mempengaruhi jenis gerak benda Prosedur
o Percobaan GLB
o Percobaan GLBB
E.
Pendekatan dan Metode Pembelajaran
§ Pendekatan : Scientific
§ Metode Pembelajaran: Demonstrasi, kaji
pustaka, eksperimen, diskusi kelompok, tanya jawab
F. Media,
Alat dan Sumber Belajar
·
Media:
-
Video
tentang GLB dan GLBB
-
Simulsi
GLBB
-
·
Alat
dan Bahan:
-
LKS
GLB (Lampiran 1 Pertemuan 1)
-
Pewaktu
ketik (ticker timer) dan pita, trolley bermotor dan lintasan, catu daya
(power supply), penggaris, gunting,
lem, dan pita perekat (cellotape)
-
LKS
GLBB (Lampiran 1 Pertemuan 2)
- Rel presisi 2 buah atau papan dan
balok, penyambung rel 1 buah, kaki rel 2 buah, kereta dinamika 1 buah, balok
bertingkat 1 buah, stopwatch 1 buah, tumpakan berpenjepit 1 buah, meja optik 1
buah, dan penggaris 1 buah
·
Sumber
Belajar:
-
Kanginan,
Marthen. 2013. Fisika untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
-
LKS
Penjumlahan Vektor
-
Internet
G.
Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
A. Langkah-Langkah Pembelajaran
1.
|
Pertemuan Ke-1 (3 x 45 Menit)
|
||
Kegiatan Pendahuluan
(15 Menit)
|
|||
Guru :
|
|||
Orientasi
|
|||
●
|
Melakukan pembukaan dengan salam pembuka, memanjatkan syukur
kepada Tuhan YME dan berdoa untuk memulai pembelajaran
|
||
●
|
Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
|
||
●
|
Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali kegiatan pembelajaran.
|
||
Aperpepsi
|
|||
●
|
Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik dengan materi/tema/kegiatan sebelumnya
|
||
●
|
Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
|
||
●
|
Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran
yang akan dilakukan.
|
||
Motivasi
|
|||
●
|
Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari pelajaran yang
akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
|
||
●
|
Apabila materi tema/projek ini kerjakan dengan baik dan sungguh-sungguh ini
dikuasai dengan baik, maka peserta didik diharapkan dapat menjelaskan tentang
materi :
|
||
|
|
||
|
|||
●
|
Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan yang berlangsung
|
||
●
|
Mengajukan pertanyaan
|
||
Pemberian Acuan
|
|||
●
|
Memberitahukan materi
pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan saat itu.
|
||
●
|
Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar,
indikator, dan KKM pada pertemuan yang
berlangsung
|
||
●
|
Pembagian kelompok belajar
|
||
●
|
Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.
|
||
Kegiatan Inti ( 105
Menit )
|
|||
Sintak Model
Pembelajaran
|
Kegiatan Pembelajaran
|
||
Stimulation
(stimullasi/ pemberian rangsangan) |
KEGIATAN LITERASI
|
||
Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan
perhatian pada topik materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh,
percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
dengan cara :
|
|||
→
|
Melihat (tanpa atau dengan Alat)
|
||
|
Menayangkan gambar/foto/video yang relevan.
|
||
→
|
Mengamati
|
||
●
|
Lembar kerja materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh,
percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju
rata-rata
|
||
●
|
Pemberian contoh-contoh materi Kecepatan sesaat, perpindahan,
jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata,
dan laju rata-rata untuk dapat dikembangkan peserta didik, dari media
interaktif, dsb
|
||
→
|
Membaca.
|
||
|
Kegiatan literasi ini dilakukan di rumah dan di sekolah dengan
membaca materi dari buku paket atau buku-buku penunjang lain, dari
internet/materi yang berhubungan dengan Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak
tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan
laju rata-rata
|
||
→
|
Menulis
|
||
|
Menulis resume dari hasil pengamatan dan bacaan terkait
Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata,
percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
|
||
→
|
Mendengar
|
||
|
Pemberian materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh,
percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju
rata-rata oleh guru.
|
||
→
|
Menyimak
|
||
|
Penjelasan pengantar kegiatan secara garis besar/global tentang
materi pelajaran mengenai materi :
|
||
|
|
||
|
untuk melatih rasa syukur, kesungguhan dan kedisiplinan,
ketelitian, mencari informasi.
|
||
Problem
statemen (pertanyaan/ identifikasi masalah) |
CRITICAL THINKING (BERPIKIR KRITIK)
|
||
Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan gambar
yang disajikan dan akan dijawab melalui kegiatan belajar, contohnya :
|
|||
→
|
Mengajukan pertanyaan tentang materi :
|
||
|
|
||
yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk
mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik) untuk
mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan
untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar
sepanjang hayat.
|
|||
Data
collection (pengumpulan data) |
KEGIATAN LITERASI
|
||
Peserta didik mengumpulkan informasi yang relevan untuk menjawab
pertanyan yang telah diidentifikasi melalui kegiatan:
|
|||
→
|
Mengamati obyek/kejadian
|
||
|
Mengamati dengan seksama materi Kecepatan sesaat, perpindahan,
jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata,
dan laju rata-rata yang sedang dipelajari dalam bentuk gambar/video/slide
presentasi yang disajikan dan mencoba menginterprestasikannya.
|
||
→
|
Membaca sumber lain selain buku teks
|
||
|
Secara disiplin melakukan kegiatan literasi dengan mencari dan
membaca berbagai referensi dari berbagai sumber guna menambah pengetahuan dan
pemahaman tentang materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh,
percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju
rata-rata yang sedang dipelajari.
|
||
→
|
Aktivitas
|
||
|
Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat
dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru
berkaitan dengan materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh,
percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju
rata-rata yang sedang dipelajari.
|
||
→
|
Wawancara/tanya jawab dengan nara sumber
|
||
|
Mengajukan pertanyaan berkaiatan dengan materi Kecepatan sesaat,
perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat,
kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang telah disusun dalam daftar
pertanyaan kepada guru.
|
||
|
|
||
COLLABORATION (KERJASAMA)
|
|||
Peserta didik dibentuk dalam beberapa kelompok untuk:
|
|||
→
|
Mendiskusikan
|
||
|
Peserta didik dan guru secara bersama-sama membahas contoh dalam
buku paket mengenai materi Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh,
percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju
rata-rata
|
||
→
|
Mengumpulkan informasi
|
||
|
Mencatat semua informasi tentang materi Kecepatan sesaat,
perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat,
kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata yang telah diperoleh pada buku
catatan dengan tulisan yang rapi dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
|
||
→
|
Mempresentasikan ulang
|
||
|
Peserta didik mengkomunikasikan secara lisan atau
mempresentasikan materi dengan rasa percaya diri Kecepatan sesaat,
perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat,
kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata sesuai dengan pemahamannya.
|
||
→
|
Saling tukar informasi tentang materi :
|
||
|
Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan
rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
|
||
dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya
sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan
diskusi kelompok kemudian, dengan menggunakan metode ilmiah yang terdapat
pada buku pegangan peserta didik atau pada lembar kerja yang disediakan
dengan cermat untuk mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai
pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan
mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan
kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
|
|||
Data
processing (pengolahan Data) |
COLLABORATION (KERJASAMA) dan CRITICAL THINKING (BERPIKIR
KRITIK)
|
||
Peserta didik dalam kelompoknya berdiskusi mengolah data hasil
pengamatan dengan cara :
|
|||
→
|
Berdiskusi tentang data dari Materi :
|
||
|
|
||
→
|
Mengolah informasi dari materi Kecepatan sesaat, perpindahan,
jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata,
dan laju rata-rata yang sudah dikumpulkan dari hasil kegiatan/pertemuan
sebelumnya mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan
informasi yang sedang berlangsung dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan pada
lembar kerja.
|
||
→
|
Peserta didik mengerjakan beberapa soal mengenai materi
Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan
sesaat, kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
|
||
Verification (pembuktian)
|
CRITICAL THINKING (BERPIKIR KRITIK)
|
||
Peserta didik mendiskusikan hasil pengamatannya dan
memverifikasi hasil pengamatannya dengan data-data atau teori pada buku
sumber melalui kegiatan :
|
|||
→
|
Menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan
informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki
pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan untuk mengembangkan
sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan
prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam membuktikan
tentang materi :
|
||
|
|
||
antara lain dengan : Peserta didik dan guru secara bersama-sama
membahas jawaban soal-soal yang telah dikerjakan oleh peserta didik.
|
|||
Generalization (menarik kesimpulan)
|
COMMUNICATION (BERKOMUNIKASI)
|
||
Peserta didik berdiskusi untuk menyimpulkan
|
|||
→
|
Menyampaikan tanggapan
tentang materi GLB fberupa kesimpulan berdasarkan hasil analisis
secara lisan, tertulis, atau media lainnya untuk mengembangkan sikap jujur,
teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat
dengan sopan.
|
||
|
|
||
Catatan : Selama pembelajaran
konsep, karakteristik, dan persamaan baik GLB dan GLBB berlangsung,
guru mengamati sikap siswa dalam pembelajaran yang meliputi sikap:
nasionalisme, disiplin, rasa percaya
diri, berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah tanggungjawab, rasa ingin
tahu, peduli lingkungan
|
|||
Kegiatan Penutup (15
Menit)
|
|||
Peserta didik :
|
|||
●
|
Mengagendakan pekerjaan rumah untuk materi pelajaran Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak
tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan
laju rata-rata yang baru diselesaikan.
|
||
●
|
Mengagendakan materi atau tugas projek/produk/portofolio/unjuk
kerja yang harus mempelajari pada pertemuan berikutnya di luar jam sekolah
atau dirumah.
|
||
Guru :
|
|||
●
|
Memeriksa pekerjaan siswa
yang selesai langsung diperiksa
untuk materi pelajaran Kecepatan
sesaat, perpindahan, jarak tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat,
kecepatan rata-rata, dan laju rata-rata
|
||
●
|
Peserta didik yang
selesai mengerjakan tugas projek/produk/portofolio/unjuk kerja dengan
benar diberi paraf serta diberi nomor urut peringkat, untuk penilaian tugas
|
||
●
|
Memberikan penghargaan untuk materi pelajaran Kecepatan sesaat, perpindahan, jarak
tempuh, percepataan rata-rata, percepataan sesaat, kecepatan rata-rata, dan
laju rata-rata kepada kelompok yang memiliki kinerja dan kerjasama yang baik.
|
||
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari kajian teori yang telah dibahas, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Model
konsiderasi merupakan sebuah model yang menekankan moralitas, yaitu hidup
bersama dalam sebuah keharmonisan dengan sesame. Model ini dicetuskan oleh seorang
hummanis bernama Paul, Mc Phails.
2. Tujuan
dari model konsiderasi ialah membantu membentuk perilaku siswa siswa menjadi
matang, melaksanakan hubungan-hubungan sambil mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah.
3. Langkah-
langkah pembelajaran model konsiderasi adalah (1).menghadapkansiswapada situasiyangmengandung
konsiderasi; (2). meminta siswa menganalisis
situasi berkenaan dengan perasaan,
kebutuhandan kepentingan orang lain; (3). siswa
menuliskan responsnya masing-masing; (4). siswa menganalisis respons siswa lain; (5). mengajaksiswamelihatkonsekuesi
daritiap tindakannya; (6).Memintasiswa untuk
menentukan pilihannya.
4. Asumsi yang
mendasari model
konsiderasi, yaitu: (1) perilaku moral memperkuat (memperkuat diri),
(2) pendidikan moral harus diarahkan pada kepribadian sebagai keseluruhan
(kepribadian total), (3) siswa menghargai orang dewasa yang menjadikan dirinya
"perhatian panutan" (pertimbangan), (4) siswa terbuka untuk belajar,
tetapi membenci otoritarianisme, dominasi, perbudakan, (5) remaja secara bertahap
berkembang menuju kedewasaan dalam hubungan sosial (kemampuan untuk merawat dan
membantu orang lain).
5. Kelebihan
dan kekurangan dari pembelajaran model konsiderasi :
Kelebihannya antara lain : dalam
pelaksanaan pembelajaran sikap akan dapat membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat, mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai
dan sikap serta menjadi saran pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sementara Kekurangan model konsiderasi antara lain : kurikulum yang berlaku
selama ini cendrung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan
kognitif) dimana anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan
pembentukan sikap dan moral serta sulitnya melakukan control karena banyaknya
factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
6. Dalam
menerapkan model pembelajaran konsiderasi, guru sebagai fasilitator sebelumnya
telah membentuk kelompok diskusi secara random dengan tujuan agar siswa bisa
menerima anggota kelompoknya tanpa pilih-pilih. Kemudian guru memberikan suatu
kasus yang problematis kepada siswa untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan
pertanyaan yang diberikan.
b.
Saran
Kita
tahu bahwa selama ini para peserta didik lebih dituntut untuk menguasai materi,
alangkah lebih baiknya di dalam proses pembelajaran juga ditujukan kepada
pembentukan moral, watak serta kepribadian peserta didik. Oleh sebab itu
diperlukannya pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam pembentukan
karakter atau perilaku peserta didik seperti Model Konsiderasi. Selain itu
penulis juga mengakui masih adanya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu
diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan saran demi menyempurnakan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianingsih, M. Y., D.
Gunawati, dan Winarno. 2017.Pengaruh Model Pembelajaran Konsiderasi
Terhadap Sikap Toleransi Siswa Pada Kompetensi Dasar Menghargai Keberagaman
Suku, Agama, Ras, Dan Antargolongan Dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Educitizen.
2 (2) : 125 -139.
Armadani, L., I. W. Ardhana, I. N.
S. Degeng, dan M. Effendi. 2017. Consideration
Learning Model in Character Education. International Journal of Science and Research (IJSR). 6 (7) : 1585 -1591.
Aspin, D. N., J. D. Chapman. 2007. Values
education and lifelong learning.Springer. Netherlands.
Asriati, N. 2012. Mengembangkan
Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran Di Sekolah.
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora. 3 (2): 106 -119.
Guidance. 2004. Pedagogy and
Practice: Teaching and Learning in Secondary Schools. Norwich : Departement
for Education and Skills.
Himawan, P., dkk. 2018. Model Pembelajaran Sistem Perilaku. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Hoon C, Lee. 2010. An Appraisal On The Implementation
Of Moral Education
For Schools In Malaysia. Proceedings of The 4th International Conference
on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI.
For Schools In Malaysia. Proceedings of The 4th International Conference
on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI.
Joyce,
B., dkk. 2015. Models Of Teaching.
Cetakan Kesembilan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Kadir, F. 2015. Strategi
Pembelajaran Afektif Untuk Investasi Pendidikan Masa Depan. Jurnal
Al-Ta’dib. 8 (2) : 135 – 149.
Munawar,
W. 2010. Pengembangan Model Pendidikan Afeksi Berorientasi Konsiderasi Untuk
Membangun Karakter Siswa Yang Humanis Di Sekolah Menengah Kejuruan. Proceedings of The 4th International
Conference on Teacher Education. 338 -344.
Nathan and Robinson. 2001. Considerations of
Learning and Learning Research: Revisiting the Media Effects Debate. Jl. of
Interactive Learning Research 12(1), 69-88.
Parr dan Timperley. 2008. Teachers, schools and
using evidence: Considerations of preparedness.Assessment in Education:
Principles, Policy & Practice Vol. 15, No. 1. 57–71.
Pascal, rue André. 2009. Creating Effective
Teaching and Learning Environments: First Results from TALIS. OECD. France.
Prianggita, V. A. 2016. Penerapan Model Konsiderasi Dan Pembentukan
Rasional Dalam Pembelajaran.
Jurnal Kajian Pendidikan dan Pengajaran.2 (1) : 72 -80.
Reading, C., J. Reid. 2004. Consideration of Variation: A Model
for Curriculum Development. Curricular Development in Statistics Education. 36 – 53.
Rohman, A. 2013. Pembiasaan
Sebagai Basis Penanaman Nilai-Nilai Akhlak Remaja. Jurnal Nadwa. 6 (1). 155 -177.
Rosidatun. 2018. Model Implementasi
Pendidikan Karakter. Cetakan Pertama. Caramedia Communication. Gresik.
Salim Nur. 2010. Pengaruh Penerapan
Model Pembelajaran Konsiderasi Terhadap Sikap Tenggang Rasa. Efektor No 16.
51.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Edisi Pertama. Prenada
Media Group. Jakarta.
Sanjaya, W., A. Budimanjaya. Paradigma Baru Mengajar. Edisi Pertama.
Kencana. Jakarta.
Schroeder, R., E. S. Cahoy. 2010. Valuing
Information Literacy: Affective Learning and the ACRL Standards. University
Library. Baltimore.
Setiawan,
Deny. 2013. Peran Pendidikan Karakter
Dalam Mengembangkan
Kecerdasan Moral. Jurnal Pendidikan Karakter. (1) : 53 -63.
Shwartz, S. S., S. B. David. 2014. Understanding
Machine Learning: From Theory to Algorithms. Cambridge University Press.
New York.
Soenarko, B., E. S. Mujiwati. 2015. Peningkatan Nilai Kepedulian Sosial Melalui
Modifikasi Model Pembelajaran KonsiderasiPada Mahasiswa Tingkat I Program Studi
Pgsd Fkip Universitas Nusantara Pgri Kediri. Jurnal Efektor. (26) : 33 –
47.
Wijayanti, A. Tri. 2013. Implementasi Pendekatan Values Clarivication Technique (VCT) dalam
Pembelajaran IPS Sekolah Dasar. Jurnal ilmu-ilmu sosial. 10 (1) : 73.
Yulida, D., N. Warnandi, dan D. Kurniadi. 2017. Model Konsiderasi Untuk Melatih Keterampilan
Sosial Anak Dengan Hambatan Emosi Dan Perilaku. JASSI_anakku.
18 (2) : 15 -21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar